Minggu, 06 Oktober 2013

Kuala Tungkal, Pertama Aku Menemukanmu (Cerita Cinta Kota)

Aku sudah tahu,ini akan terjadi dan terus menghantuiku.
Entah sudah beberapa kali aku berkhayal. Tentangmu. Tentang kita. Memang bukan hal yang singkat untuk kita saling mengenal satu sama lain. Tatapan mata itu, sudah cukup menjelaskan semuanya. Hati yang telah terpaut, tak mampu melepaskan. Ukiran senyum tak mampu membuat kita berkata-kata lagi. Rindu. Aku tau itu.
Saat mimpi-mimpi itu berkelebat dalam otakku, aku hanya bisa menghela nafas. Aku begitu pusing memikirkannya hingga aku tidak bisa membedakan mimpi dan khayalanku tentang kita dan kebersamaan yang sepertinya mustahil kita dapatkan lagi seperti dulu.
Kugambarkan wajahmu di langit. Kuputar lagi waktu seenaknya. Kupandangi debur ombak yang menghantam pinggir pantai yang dipenuhi binatang laut. Angin semilir menusuk tulangku,dikala matahari telah diufuk barat. Rambut ikalku berterbangan dengan indahnya. Disaat seperti ini, aku kembali memikirkanmu. Biarlah. Toh, hanya aku yang tahu apa yang aku inginkan : mengenangmu.

---



"Kayaknyo kau harus mengenalkan aku tentang 'Kota Bersama' ini"
Aku tersadar dari lamunanku. Kupincingkan telingaku, mencari sumber suara di sela-sela kebisingan ombak memecah bunyi di gendang pendengaranku. Mataku masih lurus menatap ke ujung laut sana.
"Aku tengok,kau sering nian ado disini. Dewekan pulak tu."
Aku sedikit kaget. Ku alihkan pandanganku kearahnya. Kuperhatikan detailnya. Kulitnya putih. Sedikit ada kumis tipis. Wajahnya berkerut karena terpaan angin, begitu pula dengan kemeja biru dan celana hitamnya yang tampak berkibar.
"Hei?"
"Ah,iye. Nape?" tanyaku balik.
"Hahahahaha. Kau ini lucu. Bahaso kau mirip Upin-Ipin" gelaknya.
Aku terdiam. Tidak tahu harus merespon apa. Logat bahasa di kotaku ini memang menggunakan bahasa melayu,huruf vokal akhir nya menggunakan huruf -E. Berbeda jauh dengan logat bahasa Jambi yang rata-rata menggunakan huruf vokal -O
"Aku baru datang loh disini. Tapi aku dak tahu apo yang nak aku buat di salah satu kota kecik di Jambi ini. Maklum la, baru sekali ini keluar Jambi"
"Oh. Begitu." gumamku.
"Sudah 2 hari aku tengok kau di TPI 2 ini. Ngapo kau betah nian disini?"
Aku memandangnya heran. Bagaimana aku tidak betah, jika aku selalu melihat cakrawala indah di ujung kota disini, di TPI 2, di jembatan panjang yang menghubungkan ragaku dengan indahnya alam kotaku yang terbentang sejauh mata memandang. Ditempat yang begitu menakjubkan memamerkan fatamorgana yang luar biasa hebat.
"Ah,aku ngerti," jawabnya. "Emh... Kayaknyo kau tau banyak lah tentang Kota Kuala Tungkal ni. Kek mano kalo kau kawani aku keliling? Besok?"
Aku terkaget. Bagaimana bisa dia mengatakan itu dengan orang baru saja berbicara dengannya semenit yang lalu. Aku Jadi ingin menolak ajakannya. Aku tidak mau berurusan dengan orang yang tak kukenal ini. Akan lebih merepotkanku.
"Ha, aku anggap itu jawaban 'iyo'. Oke, aku tunggu kau disini jam 6 pagi besok. Kau la janji. Aku pegi dulu,yo. Makasih, yo!"
Kupandangi punggungnya yang perlahan menjauh dari tempatku berdiri. Setelah bayangannya lenyap dari pandangan,aku hanya bisa menghela nafas panjang. Merepotkan.
Besoknya...
"Jadi, kita mulai darimano?" tanyanya.
Aku naik ke atas jok motornya dengan setengah ikhlas. Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi dia sudah menganggap aku menyanggupi permintaan anehnya itu. Terpaksa aku menepati janji yang sama sekali tak pernah kuanggap ada itu.
Perlahan kami meninggalkan TPI 2 dan menyusuri jalan tanah yang dipenuhi kerikil-kerikil hitam yang kecil. Embun pagi masih menutupi pandangan. Udara dingin menusuk kulitku,membuatku sedikit bergidik. Dia terus melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dan akhirnya kami sampai di simpang 3.
"Yang diarah kanan kite ni namenya TPI 1. Disane juge ade jembatan kayak di TPI 2 tadi, tapi tak sepanjang tu. Lagipule disane juge lebih dominan dengan tempat buat nampung banyak jenis ikan laot. Jadi orang yang datang kesane bise dibilang jarang dibandingkan orang yang datang ke TPI 2."
"Oh. Kayak gitu,yo." dia mangut-mangut, membanting stang motor ke arah kiri. Jalan masih berupa kerikil-kerikil. Suara tekanan ban motor dan kerikil itu menimbulkan bunyi " krek-krek " yang khas di telingaku. Aku sedikit merasa rileks.
Jalanan aspal mulai terlihat. Dia mengambil arah ke kanan, menuju pusat kota. Jalan masih berupa jalan 1 arah, tidak besar seperti di Kota Jambi, tidak pula kecil seperti di lorong-lorong pada umumnya. Pokoknya jalan 1 arah ini muat untuk dilintasi 2 mobil dari arah yang berlawanan.
Kami melintasi banyak rumah yang masih terlihat jarang ditemukan. Masih banyak tanah kosong diantara rumah-rumah yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Aku menceritakan banyak prihal tentang Kota Kuala tungkal di sudut pinggiran kotanya yang masih belum banyak dihuni daripada di tengah kotanya yang rata-rata sudah banyak orang yang tinggal disana.
Tak sampai 5 menit,kami sudah menemukan simpang 4. Disini sudah banyak kendaraan berlalu-lalang memulai aktivitas paginya. Kami berhenti sebentar di tepi simpang 4 tersebut.
"Mau lewat mane? Kiri? Kanan? Atau lurus be?" tanyaku.
"Kita lewati be semuonyo ganti-gantian,kek mano?" usulnya. Aku kaget dengan penuturannya tadi. Aku memincingkan mataku. Sepertinya dia sudah tahu tentang jalan di Kuala Tungkal : kemana pun kita pergi ke jalan yang lain nya,kita akan bertemu dengan jalan yang tadi. Disitu-situ lah istilahnya.
"Kita ke kiri bae lah" katanya sambil menaiki motornya. Aku mengikutinya.
Di jalan kiri kami, ada jalan 1 arah yang sama seperti tadi. Namun bedanya,disini sudah sedikit ramai. Anak-anak sekolah sudah bertebaran di tepi-tepi jalan,melangkahkan kaki ke arah sekolah mereka. Ada yang berpakaian merah-putih dengan wajah polos mereka, ada yang berpakaian putih-biru dengan raut semangat bersekolah yang tak terbendung, ada juga yang berpakaian putih-abu-abu yang bercengkrama riang dengan temannya yang lain. Sejauh ini, itulah yang kurasakan di Kota Bersama ini.
Di jalan yang lain, tepatnya di Parit 1, kami melihat ibu-ibu yang memulai pagi mereka dengan segepok sayur di hadapan mereka. Suara bising khas pasar membahana dan semakin lama semakin ramai. Tawar-menawar tak terelakkan. Beberapa ibu bersikeras mendapatkan harga yang pas, sedangkan si pedagang tetap berkutat pada pendiriannya menetapkan harga sekian pada benda hijau yang ditawar si ibu. Si ibu terlihat kecewa dan terpaksa membelinya.
"Liat tuh ibuk-ibuk. Liurnyo netes-netes garo-garo kebanyaan ngomong. Kasian pedagangnyo, wajahnyo keno liurnyo tuh. "
Aku terkekeh sedikit. Situasi yang sama juga kami temukan di Parit 3, yang lokasinya berdekatan langsung dengan laut. Banyak juga ibu-ibu melakukan hal yang sama : menawar. Yah, Parit 1 dan parit 3 memang dikenal sebagai pasar tradisional selain pasar Tanggo Rajo karena sebagian besar area wilayahnya didominasi oleh penjual ikan dan pedagang sayur.
Kedua mata laki-laki di depanku ini masih celingak-celinguk memperhatikan jalanan dan tempat-tempat menarik lainnya. Di jalan Sriwijaya, matanya terpaku pada sebuah gedung tinggi yang besar. Berwarna cream oranye dan di sandingkan dengan merah tua keungu-unguan di sudut kiri-kanan nya. Pintu masuknya berupa full kaca yang cukup megah. Pagarnya membuat jarak yang kompleks sehingga pengguna jalan dapat melihat betapa mewahnya gedung yang bertuliskan 'SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 KUALA TUNGKAL' ini.
"Gilo ! Mewah nian? Sekolah apo swalayan ni? " kagetnya. Matanya mengerjap-ngerjap kagum.
Aku terkekeh, " Ya, kek gitulah. Agak dikit mewah,sih. Sebagai cerminan dikit tentang sekolah di Kuala Tungkal yang cukup bagus, mungkin."
"Tapi ini keren, loh. Aku jadi heran. Mungkin arsitek yang membuat sekolah ketukar dengan arsitek yang bikin swalayan. Ya,jadinyo kagek swalayan bentuk dalamnyo ado kelas samo bangkunyo. Nah, kagek dalam sekolah ado diskon obral celano kolor 50% !"
Aku tergelak. Memikirkan lelucon gila yang dia lontarkan. Tawaku membuncah di jalanan. Dia pun ikut larut dalam kesenanganku, ikut tertawa juga.
Di jalan Pahlawan, kami menemukan deretan counter handphone. Ada sekitar 10 counter beserta sang pemilik dan beberapa anak buahnya. Mereka bersebelahan satu sama lain. Mereka memang bersaing ketat dalam hal jual-menjual handpone dan aksesoris lainnya. Agak terlihat aneh jika diperhatikan dengan logika. Tapi, sepertinya mereka sudah menganggap hal ini sudah biasa. Jadi, persaingan ditentukan oleh pelanggan. Yang mana banyak didatangi, itulah yang menang. Sejauh ini, yang aku perhatikan, semua jumlah pelanggan sama. Jadi, semuanya menang.
"Kau lapar,dak? La agak siang ni." tawarnya
"Emm. Boleh. Kau nak makan ape?" tanyaku balik.
"Basenglah."
Aku menunjukkan beberapa warung makan yang kurekomendasikan untuk makan siang kami. Dari warung tekwan, bakso, rumah makan, bubur, mie ayam bakso, nasi goreng, baso bakar, martabak, fried chicken, udang ketak goreng, pempek bakar dan banyak lagi. Tapi dari semua yang aku sebutkan, dia malah ingin makan TEMPOYAK !
"Hmm... Enak jugo yo." komentarnya saat menyantap sepiring tempoyak yang dipadukan dengan ikan patin besar. Mulutnya masih tetap menyantapnya bersama nasi yang mengepul. Aku menatapnya takjub. Biasanya, penyuka tempoyak ini tidak begitu banyak, itupun hanya warga Jambi saja, karena memang makanan khasnya, sih.
"Makasi."
Aku hanya menghabiskan sedikit nasiku. Setelah itu aku mendorong pelan piringku agar menjauh dari ujung meja. Aku meletakkan kedua tanganku di meja dan menatapnya lagi.
"Kota Kuala Tungkal ni... Kota yang penuh cinte, loh," aku membuka percakapan baru. "Dimanepun kau tegak, kau pasti dapat senyum, biakpun kau tak kenal sekalipun."
"Gitu?" sepertinya dia kurang paham.
"Ya, rate-rate orang Tungkal ni suke jalan-jalan kelilingi kota. Macam kite ni lah. Nah, kagek pas jalan-jalan tu, ketemu kawan. negur dikit. Senyum lagi. Tambah banyak cinta yang tersebar pas kite senyum same kawan-kawan kite tu."
"Tiap ade acare di Gedung Runtuh, semue orang keluar rumah nak nonton. Menghargai la istilahnye, sebagai apresiasi karena la datang kesini."
"Kalo ade kemalingan, atau kebakaran, banyak juge orang datang bantu. Ade yang bawak ember aek la, ade yang nyelamati barang orang la. Pokoknye semuenye punye solidaritas tinggi."
"Orang Tungkal ni ramah-ramah kok orangnye. Jadi kau pasti betah disini."
"Ah, iya. Betul. Sepertimu" senyumnya, kemudian kembali menikmati makanan barunya.
Dan...
" Akhirnyo kito balek lagi kesini." katanya sambil merenggangkan otot-ototnya yang sedari tadi kaku karena seharian menggenggam stang motor. Aku mengambil posisi di samping kirinya, kembali memandangi laut lepas.
Di sore seperti ini, biasanya banyak sekali anak muda yang membawa pasangannya untuk bersama-sama melihat laut. Tapi kali ini, hanya ada kami berdua di TPI 2 ini. Dan aku yakin, jika ada yang melihat kami,mereka akan mengira kami adalah sepasang kekasih.
Aku menatap wajahnya. Aku belum mengenalnya dengan baik. Tapi ada rasa nyaman ketika aku berada di dekatnya, walau hanya sehari bersamanya. Perasaanku ringan, aku begiu menikmati waktuku bersamanya. Dengan menghabiskan waktu untuk mengelilingi Kota Kuala Tungkal,tidak mungkin dia akan berpikiran sama dengan yang aku rasakan.
"Apakah kau akan tinggal sini?" ucapan itu terlontar begitu saja tanpa bisa kutahan. Dibalik pertanyaan itu, harapan besarku muncul. Aku inginkan dia tinggal disini. Aku berharap dia akan menjawab 'Iya'.
Dia menghembuskan nafas panjang. Pipinya digembungkan, dan dia menjawab , "Dak. Aku dak akan tinggal disini. Emh, aku jugo dak tau, kapan aku biso balek lagi kesini."
"Nape?" nada kecewaku mulai terpancar. Kali ini aku tak berani menatap matanya. Aku hanya menatap air yang mengalir di bawah jembatan dari arah kananku. Kuremas tiang pembatas jembatan kuat-kuat. Aku yakin dia tau apa yang aku rasakan.
"Sudahlah, aku tahu apo yang kau rasokan sekarang ni. Aku jugo kek gitu kok."
Aku masih menunduk. Aku tidak ingin dia pergi. Aku mau dia tetap berada disini. Dia meraih kepalaku, untuk dihadapkan ke wajahnya. Tampaklah wajahku yang memerah. Air mata menggenang di pelupuk mataku dan menetes satu per satu. Apa yang kutangiskan, aku pun tidak mengerti. Dia hanya memandang sedih. Sekejap, bibirnya didekatkan pada bibirku hingga menyatu. Kupejamkan mataku.
"Aku jugo tak mau pergi. Tapi mau kayak mano? Aku dah datang kesini, tapi cuman 5 hari be. Ni hari terakhir, sore ni aku harus balek, tapi bukan balek ke Jambi. Tapi ke Jakarta. Mungkin aku biso lah balek lagi kesini kapan-kapan. Tapi aku..."
Kupeluk tubuhnya sehingga dia berhenti bicara. Disambutnya pelukanku. Dirasakannya perasaanku yang akan kehilangan dirinya. Air mataku kembali tumpah. Momen-momen yang barusan kami lalui tadi seakan berputar-putar di kepalaku. Semuanya indah. Semuanya menyenangkan. Dan semuanya akan pergi.
Dielusnya rambut ikalku yang panjang. Kemudian dicabutnya sehelai dan diperlihatkannya padaku.
"Mulai hari ini, kalo kau datang lagi ke TPI 2 ni, kau cabut 1 helai rambut kau ni, kau itung berapo banyak rambut yang kau cabut, ha sebanyak itulah harapan kau untuk kito samo-samo lagi."
Di lepaskannya helaian rambutku dari jepitan kedua jarinya. Saat itu pula, helaian rambut itu terbang mengikuti angin hingga tak dapat di temukan lagi oleh mataku. Ditelan cakrawala senja yang memukau.
"Aku harus pergi." bisiknya lirih. Ditenggelamkannya lagi aku dalam peluknya. Sejuk, nyaman. Sepoi angin senja menambah dinginnya kulitku, membuatku semakin meringsut masuk dalam pelukannya. Dia mempererat dekapan tubuhku. Aku diam, membiarkan tubuhku larut dalam fatamorgana indah : senja dan pelukannya.
Sedetik kemudian dia berbalik. Melangkah dengan cepat tanpa menoleh kebelakang. Meninggalkan aku tanpa pernah menyebut namanya dan informasi lain yang bisa kuhubungi.
Dan aku, aku tetap diam dengan sejuta makna tentang kehilangan.

---

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mencoba mengusir lamunan yang dari tadi kuselami hingga sejauh lautan ini. Kutatapi kembali langit senja yang kian merekah. Angin masih terus berhembus, menggelitik kulitku dengan perlahan. Baju blusku yang dipadu dengan rok panjangku bergerak-gerak mengikuti arah angin yang behembus dari di sebelah kiriku. Dengan pasti, rambut ikalku akan selalu berkibar di jembatan TPI 2 ini.
Ngomong-ngomong soal rambut, sudah lebih dari 700 helai rambutku(mungkin lebih) yang kucabut dan kuterbangkan bersama angin senja. Setiap helai kubisikkan kata-kata harapan tentang kebersamaan yang harusnya terulang lagi. Aku masih berharap banyak. Masih menantikan pijaran cahaya terang akan sosoknya yang kembali lagi ke tempat penuh kenangan ini. Berbisik lirih seraya menatap matahari yang mulai kehilangan cahayanya di ufuk barat. Aku ingin kembali.
Aku berkutat dalam kenangan. Langkahku terasa berat. Aku enggan bangkit dan melupakan semuanya. Tidak! Aku tidak mau membiarkan tawa itu meredup. Aku tidak akan membuat. ciuman itu lenyap. Aku tidak akan membiarkan pelukan itu memudar. Aku tidak ingin semuanya hilang dari ingatanku. Atau lebih tepatnya, aku tidak akan pernah pergi dari itu semua.
Kutatapi lagi senja yang mulai gelap. Matahari sudah tak bersinar lagi disana. Butiran hangat dari mataku tak berkilau karena pantulan sinar sang surya telah lenyap. Tangan lemahku berusaha untuk terus mengusapnya, namun butiran itu terus berjatuhan tanpa henti. Aku berusaha terpejam agar bisa menghentikan kerinduan yang mencabik hatiku dengan kasar. Aku sudah sekarat. Sedikit sakit karena termakan kenangan dan kehilangan.
Dia membawa separuh hatiku, bahkan mungkin semuanya. Hatiku tertinggal disana tanpa bisa kuambil lagi. Kedengarannya gila, tapi inilah kenyataannya. Aku hidup dalam kenangan, dengan berjuta-juta harapan. Keinginanku simple, aku hanya dia kembali. Dan jika itu terjadi, sebisa mungkin aku akan memintanya untuk tidak pergi lagi.
Itupun jika Tuhan mengizinkan ...
"Hei."
Suara itu membuyarkan semua angan dan khayalanku. Ya, suara itu ! Aku mengenal suara itu. Suara yang tidak asing ditelingaku, suara yang beberapa tahun terakhir menghilang. Itu suara yang sangat inin kudengar. Kini, suara itu hadir lagi. Kutolehkan wajahku dengan cepat. Kubalik badanku agar bisa berhadapan seluruhnya dengan sumber suara.
Dan disinilah aku sekarang. Berhadapan dengan laki-laki yang sangat kurindukan. Wajah dan senyumnya membuat atmosfer di sekelilingku mengembalikan aku ke masa itu. Ya, masa dimana kami tertawa untuk hal yang sangat ingin dia ketahui, tentang Kuala Tungkal. Kini Dia kembali, menjawab semua rinduku yang telah meledak hingga tak mampu ku tampung lagi. Dia kembali untukku, menemuiku di jembatan ini, ditempat pertama kali kami bertemu. Tak kusangka, dia masih mengingatnya.
Dan semua anggota tubuhku mendadak mati rasa. Mataku terpaku dengan kekagetan yang luar biasa. Mulutku hampir terkuci hingga aku hanya bisa berbisik dengan lirih :
"Kamu?"

2 komentar:

  1. Kren.. terharu membacanye, dah tu berlinang ae' mate ni...

    BalasHapus
  2. Mbak, izin pake ceritanya, mau saya buat novel atas nama mbaknya kok

    BalasHapus

your comment?????