Kamis, 22 Mei 2014

Karma !

Jangan pernah main-main dengan cinta, karena bagian terpedih dari akhir ceritanya adalah KARMA.

Aku tidak tau bagaimana melukiskan perasaanku yang telah luluh lantah;tak terbentuk lagi. Semuanya seperti melayang dalam rotasi yang sama, dan semua itu menyakitkan. Aku lupa caranya kembali seperti yang dulu karena aku kehilanganmu.
Kejadiannya sama persis seperti 8 bulan yang lalu, ketika aku masih bersama dia. Dia yang terbang ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya di universitas swasta disana. Aku yang saat itu mencintainya, rela menunggunya dan tetap bertahan dalam jarak beribu kilometer yang entah kapan bisa bertemu.
Sebulan kemudian, aku diterima di universitas negeri di kotaku. Aku yang berasal dari kabupaten, harus pergi ke kota dan menjalani aktivitas seperti anak rantauan. Dan diantara hiruk pikuk seperti ospek, pendaftaran ulang, dan segala macam inilah akhirnya aku bertemu denganmu.

Kamu, si tampan yang menawan hati, memegang predikat sebagai temanku di sekolah menengah pertama, membantuku di setiap waktu, di setiap keadaan yang mendesak tentang perkuliahan yang dirasa cepat. Aku datang ke kota, dan mulai disibukkan dengan banyak aktivitas kampus. Ospek salah satunya, kita harus mencari peralatan yang ditentukan PG(Pembimbing Gugus) dan semua itu harus diselesaikan hari itu juga. Membuat toga dari kardus, name tag, pakai sarung, baju batik, sepatu pansus, dan duduk di Balairung selama setengah hari! Bayangkan betapa repotnya kita saat itu, terlebih ospek berjalan selama 1 minggu!
Selain ospek, aktivitas kampus yang lain juga meliputi pendaftaran ulang, harus mengantri diantara manusia-manusia yang haus tanda tangan petugas di setiap loket fakultas di BAAKPSI. Ada pula tes urine yang juga harus mengantri diantara ribuan maru dan hari itu juga hasil tesnya akan keluar, bayangkan betapa lamanya disana hanya untuk itu saja!
Semuanya, aku jalani bersama denganmu. selama 1 minggu itu, aku berusaha jujur pada dia yang jauh disana, bahwa aku ditemani oleh temanku. Tapi, dia tidak mau mengerti. Dia tak punya toleransi. Dia menuduhku dengan berbagai asumsi yang sebenarnya hanya membuatku merasa terpojok dengan apa yang kulakukan. Aku hanya menjalani aktivitas kampus denganmu. Tapi dia tak mau tau. Entah aku yang tak memahami perasaannya, aku tidak tau. Yang jelas, setelah dia terus menekanku dengan tuduhannya, aku memutuskan untuk berakhir dengannya.
Dia yang masih cinta, dia yang masih sayang, jelas terpukul dengan apa yang terjadi. Dia marah, jelas. Keputusan sepihak ini tentu saja membuatnya terluka, namun, entah kenapa aku tidak merasakan apa-apa saat itu. Perasaanku datar-datar saja. Tidak kehilangan, mungkin karena sudah ada kamu. Betapa jahatnya aku saat itu. Hanya saja, aku belum menyadarinya.
Terlalu cepat? Ya bisa dibilang begitu karena setelah sebulan aku berakhir dengannya, aku memutuskan untuk bersama denganmu. Yang kurasakan itu memang cinta. Aku yakin itu. Kurasa kau pun juga merasakan hal yang sama, mungkin karena pertemuan yang terlalu sering, membuat kita menyimpan rasa. Ah, sudahlah.
Kuberitahukan hal ini kepada dia, agar dia tidak salah paham lagi. Dia tetap marah. Dia tetap gusar. Ternyata selama ini dugaanku benar, pikirnya. Teman dekat menjadi pacar. kubenarkan asumsinya karena memang itulah kenyataannya.
Kujalani waktu bersamamu hingga 6 bulan, susah senang sama-sama. Semuanya terasa indah hingga yang kupikirkan hanya kau dan aku. Tidak dengan dia, dia belum bisa move on dariku. Tapi, apa aku peduli? Tidak. Aku hanya memikirkan perasaanku yang berbunga-bunga. Maaf.
Semakin lama, semakin timbul masalah. itu memang hal yang lumrah dalam suatu hubungan dan tergantung kitalah yang menghadapinya. Kita selalu berhasil menyelesaikan masalah kita dan kembali berbaikan. Kita selalu berhasil meyakinkan bahwa kita selalu bersama apapun yang terjadi. Kita selalu merasakan hal itu, kan?
Namun, 1 bulan kemudian, entah kenapa masalah mulai sukar kita hadapi dan semuanya mulai terasa berbeda. Pendapatku untuk menyelesaikan semuanya hanya dirasa seperti aturan-aturan bagimu. Opiniku hanya dianggap sebagai tuduhan-tuduhan yang tak jelas. Aku tak mengerti. Kali ini, kita berbaikan tanpa ada rasa lega di dada.
Tuhan memang adil, ditunjukkannya jalan. Suatu ketika temanku melihat kau bersama perempuan lain pulang bersama saat aku tak ada disana. Jelas aku sangat marah. kau  berusaha menjelaskan duduk perkaranya dan aku tetap menangis. Temanku bercerita dengan versi yang berbeda pula, membuat aku semakin bingung.
Dan, memang, esoknya, kulihat SMS dari perempuan itu di HPmu. Ternyata benar, ya Tuhan! Aku sangat marah, kusudutkan kau dengan semua kenyataan yang barusan kulihat. Kuteriakkan tuduhanku padamu agar kau tau bahwa sakit sekali disini;hati. Tapi kau balik marah, dan menyangkal semuanya. Entah apa yang kau rasakan saat itu, tapi kau pergi. Menyisakan tanya besar, mengapa?
Aku datang kerumahmu, mengklarifikasi semuanya agar aku tau langkah yang kuambil nantinya, saat itu aku ingat, aku bilang seperti ini :
Pilihannya cuma ada 2, tetap sama aku, atau lepaskan aku. Kalau kau mau lepaskan aku, ayolah. Kita berakhir baik-baik karena dulu kita juga memulainya dengan baik-baik. Tapi, kalau kau masih mau mempertahankan hubungan ini. Kau perbaikilah semuanya, jauhkan dirimu dari perempuan itu, dan kita mulai dari awal.
Kau memilih untuk tetap bersamaku, berjanji untuk tidak mengulangi lagi, dan mencoba untuk berusaha memperbaikinya. Kuhargai keputusanmu itu.
Setelah masalah ini benar-benar berlalu, kita kembali baik. Namun apa daya, janji hanya tinggal janji. Semuanya seakan membasi ditelan waktu. Teman yang lain melihatmu lagi bersama perempuan itu. Berdua. Temanku yang lain lagi, juga melihatmu pergi dengannya. Aku yang mendengarnya, sangat kecewa. Ternyata, orang yang paling aku sayang, yang paling aku percayai, mengecewakanku lagi.
Cinta bisa datang karena terbiasa bertemu, kubenarkan ini ketika tau perempuan itu adalah teman sekelasmu. Kutahan perasaanku saat kudapati kenyataan bahwa kau sering bersama dia, melakukan aktivitas kelas berdua, hingga ikut turnamen futsal yang diadakan oleh jurusan dari fakultas tersebut.
Kudapati lagi kenyataan bahwa kau terlihat sering bersama dia karena d selain kau ikut turnamen, dia juga ikut. Perasaanku yang terombang ambing memutuskan untuk membuktikannya sendiri, menanyakan kejelasan hubungan kami yang sekarang penuh dengan kepura-puraan ini. Menanyakan keseriusan untuk semua tanya hatiku ini.
Kuputuskan untuk pergi malam itu juga. Melewati jalan lintas dan angin malam yang menusuk, aku melihat-lihat sepanjang jalan hingga akhirnya...
Tuhan berikan jawaban.
Aku melihatmu. Melihatmu dari arah berlawanan melintas bersama perempuan itu! Kelihatannya bahagia, sangat dekat sekali. Aku yang tak mampu tenang, memutar stang motorku berbalin arah dan mengejar kamu. Kutancapkan gas dan tak peduli berapa banyak mobil yang kusalip demi memergoki kau dan perempuan itu. Setelah jaraknya dekat, kutekan klakson kuat-kuat hingga kau menoleh.
Kutatap lekat-lekat wajahmu. Matamu yang, entah. Seperti bukan kau yang dulu. Kau sudah jauh berbeda. Kutatap lagi sinar wajahmu sedikit kaget. Dan aku baru sadar betapa bodohnya aku.
'OH !' kataku sambil lalu.
Aku mengambil jalan pulang. Kenangan berhamburan seiring aku yang tak menyangka semua ini akan terjadi. Rasanya sangat pedih dikhianati dengan cara seperti ini.
Mungkin ada yang berubah, dariku. Yang mungkin kau tak suka. Mungkin aku belum bisa jadi seperti senyaman yang kau inginkan. Tapi kau tau, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang sempurna itu hanya ada di cerita dongeng. Dan kau tau, kalau kau berusaha menutupi kekuranganku dengan mencari yang lain, kau tidak akan pernah bertemu kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kututup lagi kenangan. Bukan untuk dilupakan. Tapi dijadikan pelajaran. Bahwa ternyata tak selamanya yang indah akan tetap bertahan. Namun yang tulus pasti akan tetap abadi. Aku hanya perlu membiasakan diri untuk tetap menjadi aku yang biasanya. Ini tidak akan berubah.
Semua yang kulakukan bersamamu menyenangkan. Aku menghargai setiap waktu bersamamu saat senang ataupun susah. Hal yang paling sulit dilakukan ternyata harus kujalani. Aku masih mengingat janji, aku masih mengingat our plan, aku masih memikirkan our ritual, aku masih membaca our melting word yang selalu ada disini;hati.
Kembali kulayangkan pikiranku pada 8 bulan yang lalu, saat aku meninggalkan 'dia' saat dia masih cinta-cintanya, saat aku menyakitinya demi bersama kamu. Saat aku membiarkankan terluka demi egoisku ini. Dia belum bisa melupakanku dan aku tega membuatnya sakit hati demi perasaanku padamu. Dan sekarang? Aku merasakan apa yang dia rasakan!

Tuhan memang adil, Dia tunjukkan jalan.

Jangan pernah main-main dengan cinta, karena bagian terpedih dari akhir ceritanya adalah KARMA.


Maria Tanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

your comment?????