Minggu, 06 Oktober 2013

Pergi

Gagak melebarkan sayapnya.
Berlari jauh melintas asa.
lalu, berdiri.
Tepat di kebahagiaan sejatimu.

Ini bukan tentang kami.
Tapi engkau bercerita.
Alunan merdu sekelebat merintih.
Memaksamu mengambil lara.

Tidak Bisa Pulang

     Kau tau apa yang sedang kurisaukan saat ini?
     Ya, kau pasti mengerti. Kau benar-benar kekasihku yang hebat!

     Sungguh, aku bahagia memilikimu.
     Kau adalah yang terbaik yang pernah kumiliki. Kita bertemu di kota ini;di tempat ini. Ketidakpercayaanku pada cinta pandangan pertama, tidak merunkan semangatmu untuk terus mengukir cerita tentang kita.

Untukmu Yang Telah pergi

     Sudah berkali-kali kukatakan padamu, aku tidak akan pernah pergi dari sini. Aku tidak akan pernah beranjak dari tempat ini. Disinilah tempat ternyaman yang harus aku tinggali. Tak lain dan tak bukan adalah hatimu.
     Banyak kekhilafan yang terjadi dalam diriku, terutama setelah kau memutuskan untuk tetap pergi. Meninggalkan berjuta kenangan yang sepakat untuk kita simpan. Menjauh dari hatiku yang tak berhenti menyebut namamu berulang kali dalam tangisku.

Kembali

Semua bergerak.
Berotasi pada pusat yang semestinya jadi panutan.
Menggenggam langkah, membuatku terhenti.
Selalu, di hadapanmu

Rentanya sikapku tak mampu menahan gemuruh hati yang berteriak pilu.
Dia merintih, sekali lagi melumpuh.
Tak jera mengeja luka, kau tetap disana.
Menempuh garismu di bentangan jalannya.

Goodbye Anniversary

     Seharusnya hari ini kita bergembira.
     Sangat bergembira.

     Namun sekarang, mungkin kegembiraan itu tak ada artinya lagi.
     Entah bagaimana ceritanya, kita bisa bersama. Dan entah bagaimana pula kita bisa merangkai cerita. Setahun bukanlah waktu yang lama, namun juga bukanlah waktu yang singkat jika dipikirkan melalui hati kecil yang terdalam.

    Aku mengenalmu lebih awal. Mencintaimu lebih awal juga. Semua ini menjadi kesalahan terbesar karena aku masuk lebih dulu dalam lubang yang tak kutahu apa yang ada didalamnya. Kau disana menunggu. Menunggu aku menyambut perasaanmu. Kutanggapi dengan hati yang bergemuruh riang. Aku tak mampu mengendalikan perasaanku. Aku menerimamu lebih dulu. Kuanggap semuanya impas dengan debaran jantungku saat berada di dekatmu.

Tunjukkan Aku Pada Mereka

    Sudah lama kita menjalin cinta. Hamparan angin memendar di sepanjang nafas yang kita hembuskan untuk kelangsungan cinta kita. Bukit semakim menanjak naik, menyisakan kepingan-kepingan kenangan yang semakin lama semakin menggunung. Disana ada bahagia. Disampingnya ada tawa. Dibelakangnya ada tangis, di sekelilingnya ada suka dan duka. Begitu banyak batu perasaan yang mewakili semua waktu yang telah kita tempuh, dengan susah payah, penuh suka cita.

     Semua hubungan pasti memiliki sebuah akhir, ya. Sebuah akhir yang hanya ada 2 jalan pasti, bahagia ataupun sebaliknya. Yang bahagia, semuanya pasti menginginkannya untuk hubungan mereka. Sebaliknya, jika memang nasib menggoreskan untuknya berakhir dengan tidak sempurna, apalah daya. Mungkin memang sudah takdirnya.

Penikmat Uang

    Bukan hal baru jika kabar burung berhembus di telingaku. Bukan seperti bangun tidur lagi. Bukan seperti rangkaian omong kosong yang terucap di ujung bibir mereka. Semua tau,semua menggunakan otak kecil mereka untuk menganalisis kehidupanmu.
     Dengan apapun,kau bisa melakukan hal seenak jidatmu berkata. Tak ada yang tahan jika tip dan cek dengan mudahnya kepada mereka yang gelap mata. Tersenyum diantara kelicikan politik uang. Uang disakumu,melayang bebas kemana kau lemparkan. Tersenyum lagi,untuk mereka yang bodohnya melompat,berebut kekayaan yang kau sombongkan itu.

Luka?

    Aku tidak mengerti. Mengapa kita selalu membuat luka itu kembali menganga. Bukankah-? Bukankah-? Bukankah kita saling mencintai?
     Aku tak begitu paham tentang praduga-pradugamu itu yang begitu keras menghantam hatiku. Mungkin bagimu, ini bukanlah awal atau akhir. Tapi ini sudah diluar akal sehatku. Kau tau, ini tidak rasional.
     Kita memahami cinta secara irrasional, sehingga kita membenarkan kata maaf dan bentakan-bentakan itu terhenti. Kita membuka kembali hati sekaligus luka yang telah menutup sempurna. Padahal, menurut Tere Liye, cinta adalah rasionalitas sempurna, dimana cinta tak hanya sekedar memaafkan. Cinta adalah harga diri.

Teramat sakit

    Sesempurnanya aku mencoba untuk berlapang dada. Becermin untuk kesekian kalinya tentang torehan yang berbekas di relung hati paling dalam. Terseok-seok mencari cahaya yang perlahan menjauh;meredup. Kakiku telah lelah. Luka torehannya membiru. Sejenak terpaku dalam cideraku atas bertahannya aku.
   Aku terus menangisi senja yang menemui tabuh lesung pilu. Di teduhnya senyummu, aku tak ingin beranjak. Rindu ini menyelinap dengan hati-hati. Kasih ini datang lagi. Aku tertidur, terpekur dalam hangatnya janji-janjimu yang mulai membasi. apakah aku tak mampu menaklukkan kenyataan di atas pesonamu? Ataukah aku tak punya jawaban atas air mata yang meluncur indah di pipiku?

Rapuh

Pesonamu itu,
Menenggelamkan aku dalam kapal tanpa nahkoda.
Menorehkan setiap titik dimana aku kembali pada kerinduan yang bermuara kegelisahan
Memutuskan semua jawaban mengapa aku denganmu.
Di cerita kita, itu awal kita. Apa?

Sepiku bersandar pada rapuhnya aku mengeja cintamu yang mulai menghanyutkanku.
Sketsa wajahmu memasungku di pucuk rindu kesumatku untuk kembali denganmu.
Semestinya kita bisa masuk dalam badai;berputar tanpa tepi di pusaran cinta.
Seandainya.

Kuala Tungkal, Pertama Aku Menemukanmu (Cerita Cinta Kota)

Aku sudah tahu,ini akan terjadi dan terus menghantuiku.
Entah sudah beberapa kali aku berkhayal. Tentangmu. Tentang kita. Memang bukan hal yang singkat untuk kita saling mengenal satu sama lain. Tatapan mata itu, sudah cukup menjelaskan semuanya. Hati yang telah terpaut, tak mampu melepaskan. Ukiran senyum tak mampu membuat kita berkata-kata lagi. Rindu. Aku tau itu.
Saat mimpi-mimpi itu berkelebat dalam otakku, aku hanya bisa menghela nafas. Aku begitu pusing memikirkannya hingga aku tidak bisa membedakan mimpi dan khayalanku tentang kita dan kebersamaan yang sepertinya mustahil kita dapatkan lagi seperti dulu.
Kugambarkan wajahmu di langit. Kuputar lagi waktu seenaknya. Kupandangi debur ombak yang menghantam pinggir pantai yang dipenuhi binatang laut. Angin semilir menusuk tulangku,dikala matahari telah diufuk barat. Rambut ikalku berterbangan dengan indahnya. Disaat seperti ini, aku kembali memikirkanmu. Biarlah. Toh, hanya aku yang tahu apa yang aku inginkan : mengenangmu.

---